Asal-usul Suku Bangsa dan Bahasa Simalungun Koreksi dan Bantahan Atas Tulisan Sdr. Ir Gunawan Napitupulu

A. Pengantar
Membaca tulisan Sdr Ir Gunawan Napitupulu di harian SIB (meski minus dukungan referensi dan data-data literatur ilmiah) sebagai putera Simalungun asli, saya teringat akan percakapan-percakapan formal maupun informal di masyarakat kita, di mana saudara-saudara etnis Batak Toba sepertinya tidak mampu dan tidak rela menerima dan mengakui “otherness” antara suku bangsa Simalungun dan Batak Toba. Dan supaya Sdr Ir Gunawan Napitupulu ketahui, oleh karena inilah sehingga Pdt. J. Wismar Saragih dan kawan-kawan dalam wadah Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen pada tahun 1928 mengadakan perlawanan kultural dan intelektual terhadap pandangan dan kebijakan RMG dengan agency penginjil yang didominasi kaum Kristen Batak Toba yang dirasakan sangat meminggirkan dan merendahkan orang Simalungun yang pandangannya sama persis dengan pandangan Sdr Ir Gunawan Napitupulu. Untuk yang satu ini saya anjurkan agar Sdr membaca disertasi Pak Pdt. Dr. J. R. Hutauruk yang sudah diterjemahkan dan diterbitkan BPK Gunung Mulia yang berjudul Kemandirian Gereja juga buku sejarah GKPS yang saya tulis bersama Pdt. Dr. Martin Lukito Sinaga yang berjudul Tole den Timorlanden das Evangelium (Jakarta, 2003). Di kedua buku yang sarat dengan data-data ilmiah itu, dibentangkan bagaimana RMG plus agency Kristen Batak Toba tetap tidak mampu mengakui “otherness”nya etnis Simalungun dari Batak Toba.



B. Otherness-nya Suku bangsa Simalungun dengan Batak Toba

Setelah membaca dan mendiskusikannya dengan pemuka-pemuka adat/budaya Simalungun seperti Bapak Kadim Morgan Damanik (mantan Ketua Umum Partuha Maujana Simalungun Perwakilan Kabupaten Simalungun) dan Bapak Djaiman Saragih (Ketua Umum Madjelis Kebudajaan Simalungun Indonesia) dan membaca uraian Bapak Tuan Djariaman Damanik. SH dalam surat-suratnya kepada penulis dan membaca literatur asing dalam bahasa Belanda, Inggris, saya akan menanggapi point-point saya yang Sdr bantah itu sebagai berikut :

1. Menurut Sdr Napitupulu, Etnis Simalungun bukan berasal dari India Selatan karena tidak mempunyai dasar sejarah yang sah. Perlu Sdr ketahui dari data-data dan penelitian yang dilakukan Bapak Djariaman Damanik, SH (mantan Kajati Sumut dan Bali) semuanya mengarah ke India Selatan tepatnya di Nagore. Ini apalagi dikaitkan dengan adat kebiasan, karakter dan anatomi tubuh keturunan raja-raja di Simalungun yang berbeda dengan orang Batak Toba yang kemudian mengaku menjadi orang Simalungun (seperti marga Saragih Simbolon, Sijabat, Manihuruk, Damanik Malau, Gurning, Ambarita).
Penulis-penulis Belanda juga tidak menafikan kalau ada keturunan raja-raja Simalungun yang berasal dari India Selatan. Dan satu lagi apabila Sdr membaca disertasi Bapak Prof Dr Bungaran Simanjuntak, Konflik dan Status Kekuasaan Orang Batak Toba (Yogyakarta, 2002), beliau dari hasil penelitiannya mengatakan bahwa nenek moyang orang Batak besar kemungkinannya berasal dari keturunan suku bangsa Munda dan Nagpur di India Selatan, dan
menilik adanya Kerajaan Nagur (di India ada kota “Nagpur”) di Simalungun yang jelas merupakan kerajaan Hindu pertama di Sumatera Timur, makin menguatkan pandangan beliau. Prof Payung Bangun berpendapat adanya konsep raja (monarch) di Simalungun yang berpola “tuan-hamba” berasal dari budaya India (Hindu) yang mengenal “raj” sebagai perwakilan dewa di bumi yang menjamin keselarasan hubungan antara dewa-dewa dengan manusia. Di Simalungun konsep “raj” ini jelas kelihatan pada saat sebelum masuknya zanding dan agama Islam, di mana raja-raja itu digelari dengan “tuhanta” artinya pemilik kita. RW Liddle malah meyimpulkan, raja-raja Simalungun itu dilihat sebagai representasi ilahi di bumi yang dianggap memiliki kekuatan adikodrati.
Sampai saat ini, konsep pengormatan itu masih ada sisa-sisanya di masyarakat Simalungun, yaitu pandangan orang Simalungun terhadap tondong (Toba: hula-hula), tondong dianggap sebagai pemberi berkat (tuah) yang wajib dihormati seperti nyata dalam kalimat, “Tondong pangalopan podah, sanina pangalopan riah, boru pangalopan gogoh”. Dalam upacara-upacara adat Simalungun asli, tondong ini selalu berada di depan disambut oleh borunya dengan tarian yang khusyuk dan takzim sampai menyentuh tanah dengan sikap menyembah ke arah tondong dengan iringan gual Rambing-rambing Ramos sambil membawa persembahan kepada tondong tanda penghormatan yang berupa uang yang ditaruh dalam piring putih bertutup bulung tinapak dengan demban yang terdiri dari dua buah, satu untuk bapa dan satu lagi untuk inang. Dalam upacara kematian orangtua yang sudah “sayur matua” semua kaum laki-laki mengikatkan gotong porsa di kepalanya masing-masing yang bermakna, “keikhlasan keluarga dan orang yang hadir untuk memberangkatakan almarhum.”
Di Sumatera Utara ini hanya pada suku Simalungun yang mempunyai adat seperti itu. Adat ini jelas dari India (Hinduisme), karena sampai sekarang orang Bali Hindu juga masih memakai porsa kalau bersembahyang di pura. Ada memang beberapa kebiasaan dari Siam yang terbawa ke Simalungun seperti “manurduk dayok na binatur” yang sekarang masih ditemukan di Laos. Ini dibawa oleh sebagian nenek moyang suku Simalungun yang berasal dari sana. Jelasnya, suku Simalungun berketurunan dari beragam nenek moyang, bukan dari satu keturunan, yang semuanya ada yang berasal dari India Selatan dan dari Siam.
Ada yang masuk dari pantai timur, dan juga dari pantai barat melalui Aceh (menyusuri sungai Simpang Kanan di Singkel terus ke Pakpak, Tanah Karo dan akhirnya masuk ke Simalungun). Groeneveldt menulis dari tulisan Ying Yai Shenglan pusat kerajaan Nagur pernah berada di Pidie sekitar abad XIV.
Batrlett (1952:633) menulis sebagaimana dikutip Arlin Dietrich (2003:13) bahwa nenek moyang orang Simalungun pada awalnya berkedudukan di pesisir pantai timur dan akibat desakan dari populasi orang Melayu dari Semenanjung Melayu yang mendirikan kesultanan Melayu berpindah ke pedalaman sampai mencapai pantai Danau Toba. Dan sampai sekarang pun penduduk Melayu di Serdang dan Deli masih ada yang mengakui kalau nenek moyangnya berketurunan dari suku Simalungun. Itulah sebabnya keempat marga itu bisa saling mengawini karena berbeda nenek moyang. Dan di Simalungun adat yang melarang kawin semarga itu masih ketat sekali dipegang. Orang yang kawin semarga itu dihukum oleh huta karena dianggap mardawan begu. Oleh karena itu, dari jalan sejarahnya Simalungun, penduduk yang menjadi etnis Simalungun sekarang ini secara garis besarnya terdiri dari dua keturunan nenek moyang, yakni Proto Simalungun (Simalungun Tua) yang merupakan keturunan raja-raja Simalungun yang berasal dari India Selatan dan Siam yang menurunkan marga-marga raja di Simalungun yakni : Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba yang pada awalnya tanpa lineage (cabang marga/sub sib) dan keturunan kedua Deutero Simalungun (Simalungun Muda) yang secara umum berketurunan dari Samosir dan Toba yang zaman dahulu sewaktu raja-raja masih ada, menyesuaikan marganya dengan marga raja-raja yang sepengetahuan mereka di Toba Samosir ada kaitannya agar menjadi rakyat Simalungun (paruma ni harajaan Simalungun). Mereka ini memakai adat, bahasa dan budaya Simalungun dan bahkan ada di antaranya yang diangkat menjadi yang dipertuan (parbapaan) di Simalungun seperti Tigaras oleh marga Saragih Turnip dan Silampuyang oleh marga Saragih Sidauruk.
Sekarang ini pun di Bosar Maligas dan Tanah Jawa masih ada yang berketurunan dari marga Butara-butar, Sitorus dan Sirait yang mengaku dirinya suku Simalungun karena mereka sudah beberapa generasi tinggal di Simalungun dan memakai bahasa, adat dan budaya Simalungun dalam kesehariannya. Nenek moyang mereka dahulu sudah berjanji dengan sumpah (marbulawan) di hadapan raja Tanoh Jawa bermarga Sinaga untuk menjadi paruma ni Harajaan Tanoh Djawa.
Sedangkan marga Silalahi, Sitopu dan Sipayung pada zaman raja-raja memasuki marga Sinaga. Persoalan kependudukan ini masih berlangsung terus sampai zaman Belanda, di mana pada tahun 1930 pendatang dari Tapanuli menuntut agar pada mereka diangkat pemimpin sendiri (hoofd der Tobanezen), karena pendatang dari Tapanuli ini tidak bersedia di bawah kekuasaan raja-raja Simalungun. Tetapi ini tidak lama, karena raja-raja Simalungun merasa dilecehkan, sehingga mereka mengadukan persoalannya kepada pemerintah tinggi di Batavia. Dan akhirnya kedudukan mereka dikembalikan, seluruh pendatang wajib menaati hukum pemerintahan kerajaan. Barulah setelah raja-raja itu dibantai dalam aksi revolusi sosial 3 Maret 1946, ada kebebasan penuh kepada para pendatang dan foedalisme pun hapus di Simalungun.

2. Mengenai posisi dan pengertian raja di Toba dan Simalungun sebenarnya sangat jauh perbedaanya. Mengenai hal ini, saya anjurkan agar Sdr Napitupulu membaca kertas kerja dari Pdt. Dr. S.M. Siahaan yang berjudul, “Peranan dan  Kedudukan Raja dalam Struktur Suku dan Masyarakat Batak Toba” dalam Buletin STT HKBP Vocatio Dei VIII (April-Juni 1984) hal. 25-36. Saya kutip saja sebagian, “…..disimpulkan oleh AB Sinaga bahwa pengertian “raja” dalam masyarakat Batak Toba berbeda jauh dengan segala ide yang mengelilingi kata ini dalam bahasa Indonesia. Dijelaskannya perbedaan pengertian ini dengan pemakaian ungkapan : “raja disi, raja dison, samasama raja”. Dengan demikian, pengertian raja berarti bukan hamba atau “ndang hatoban.” Sebagai akibat dari sistim perkampungan yang tertutup, maka setiap kampung tidak tergantung kepada seorang raja yang administratif dan feodal” (hal 26). Akan halnya Raja Sisingamangaraja dalam kajian para sejarawan seperti diungkapkan
Castles dalam disertasinya, “…hanyalah sekedar pendeta tertinggi dalam moitie kelompok Sumba yang mencakup marga Ompu Pulobatu, yaitu marga Sinambela” marga dinasti Sisingamangaraja bukan seorang raja sebagaimana pengertian ketetanegaraan modern. Karena itulah dalam disertasi Dr. Lance Castles yang sudah diterjemahkan bejudul Tapanuli (2001:13) ia jelas menerangkan, “Sebelum masa kolonial masyarakat Batak Toba hampir tidak mengenal negara (stateless). Penduduk kampung tinggal di kampung-kampung yang disebut huta. Dan untuk kelancaran administrasi pemerintahan di Tapanuli, Belanda kemudian mengangkat kepala-kepala kampung menjadi pemimpin dengan pangkat “radja ihoetan” dan “kapala nagari”, sedangkan di Mandailing dengan “kapala kuria. Akan halnya di Simalungun, berbeda jauh dengan masyarakat Tapanuli. Dalam disertasi Wolfgang Clauss, Economic and Social Change among the Simalungun Batak of North Sumatra (1982:48), beliau menjelaskan: “Of all Batak people, only the Simalungun had developed political structure that resembled a form of state. Before the coming of the Dutch, several small kingdoms headed by radjas exixted in Simalungun, but these lacked both clearly defined territorial boundaries and internal
coherence. …..the radja’s direct rule was limited to his capital (pematang) and neighboring villages.” Dalam sejarah Simalungun kerajaan tertua di Sumatera Timur adalah Kerajaan Parpandanan Na Bolag (sekitar abad V) yang kemudian disebut Nagur yang bertentangga dengan Haru (cikal bakal Kesultanan Deli) dan Gasip (cikal bakal Kesultanan Siak). Nagur dengan dinasti Damanik kemudian pecah menjadi Raja Maroppat sekitar abad XIV (Panei, Silou, Tanoh Djawa dan Siantar). Setelah ditekennya Korte Verklaring oleh raja-raja Simalungun, partuanan banggal Purba, Raya dan Silimahuta yang semula daerah vassal dari Panei dan Silou diangkat statusnya menjadi kerajaan. Sehingga sampai revolusi sosial tahun 1946 ada tujuh kerajaan di Simalungun. Masing masing mempunyai pola pemerintahan yang sama yang disebut Sioppat Suhu dengan harajaan sebagai kabinetnya dan sub ordinat partuanan dan parbapaan sampai kepada pangulu dengan masing-masing gamot (pejabat pemerintah) yang dikendalikan dari pusat pemerintahan yang disebut “pamatang” (bukan pematang). Menurut J.R. Hutauruk, satu-satunya hanya ada di Simalungun.

3. Bahasa Simalungun. Sdr Napitupulu menyimpulkan, sebenarnya tidak ada perbedaan yang mencolok sekali antara bahasa Simalungun dengan bahasa Batak Toba dan tidak ada kedekatan antara bahasa Simalungun dengan bahasa Sansekerta. Apa yang saudara ketahui itu adalah pengetahuan orang awam, mereka yang tidak paham dan kenal betul sejarah, struktur, grammatikal bahasa dan jiwa serta vokabulari bahasa Simalungun asli (karena dari daftar kata yang saudara tulis itu ada banyak kata yang bukan termasuk bahasa Simalungun asli dalam hal ini bahasa ibu saya bahasa Simalungun Sin Raya bahasa asli Simalungun). Dan untuk itu ada baiknya saudara membaca karya pakar bahasa dan aksara Batak Dr Uli Kozok yang berjudul, Warisan Leluhur: Sastra Lama dan Aksara Batak (KPG-Jakarta, 1999). Dan disertasi Prof Hendry Guntur Tarigan, Morfologi Bahasa Simalungun yang berhasil dipertahankannya di Fakultas Sastra Unibersitas Indonesia Jakarta pada tanggal 5 Juni 1979).
Tetapi untuk lebih jelasnya saya akan merangkumkannya sebagai berikut :
Memang benar, bahwa pada zaman zending, anggapan umum selalu mengkaitkan etnis Simalungun berasal dari Samosir (Toba) dan bahasanya hanyalah dialek saja dari bahasa Batak Toba. Itulah sebabnya bahasa dan kebiasaan di Tapanuli diterapkan di Simalungun oleh para zendeling Jerman yang mahir dalam adat dan bahasa Batak Toba. Sejak ketibaan Injil di Simalungun, bahasa Batak Toba-lah yang menjadi bahasa Gereja dan Pendidikan di Simalungun.
August Theis, Guillaume dan Meissel sebagai pionir zending Kristen di Simalungun bukanlah orang yang paham dan menguasai bahasa Simalungun. Mereka bersama pembantunya dari penginjil Batak Toba selalu berkomunikasi dalam bahasa Batak Toba dalam mengabarkan Injil. Dalam sejarah hanya Simon-lah yang pertama sekali menganjurkan pemakaian bahasa Simalungun dalam mengabarkan Injil kepada pembantu-pembantunya dari Toba dalam mengabarkan Injil di Bandar pada tahun 1905. Simon-lah orang Jerman pertama yang sadar
akan perbedaaan yang sangat mencolok antara bahasa Batak Toba dengan Simalungun. Dan karena “kesalahan” inilah sehingga zending RMG “tidak sukses” mengkristenkan orang Simalungun. Barulah sejak Pdt. J. Wismar Saragih (oppung-nya Jan Wiserdo Saragih) menjadi “oposan” bagi zending RMG dan kaum Kristen Batak Toba dalam memperjuangkan harkat, martabat suku Simalungun, bahasa dan budaya Simalungun kembali pada tempatnya semula, menjadi tuan di rumahnya di Tanoh Simalungun. Sebagai seorang Simalungun yang bertahun-tahun tinggal di Tapanuli, beliau paham benar bahwa ada banyak kata-kata dalam bahasa Simalungun dan Batak Toba yang sama bunyinya tetapi berbeda artinya. Tidak saya cantumkan di sini karena akan terlalau panjang.
Kesemuanya ini sudah ia daftarkan (ada 200 buah) dan dipublikasikan di Sinalsal No. 52/Juli/1935. Dan sejak didirikannya Comite Na Ra Marpodah 1928, pertumbuhan orang Simalungun yang menjadi Kristen berlipat ganda, itu disebabkan pemakaian adat, budaya dan bahasa Simalungun dalam proses penginjilan. Pangulu Balei Djaudin Saragih sebagai pejabat pemerintah sampai mengancam guru-guru Toba yang masih ngotot memakai bahasa Batak Toba akan mengadukannya ke Kerapatan Bolon Raja-raja Simalungun agar dihukum penjara.
Dan sejak itu makin surutlah pengaruh bahasa Toba di gereja-gereja Simalungun dan akhirnya hilang sama sekali. Nah itulah sebentuk perlawanan orang Simalungun tempo doeloe terhadap pandangan inferiornya orang Toba terhadap orang Simalungun sebagaimana dalam pandangan Sdr Napitupulu.
Baiklah kita kembali pada persoalan semula. Menurut ahli bahasa Dr Uli Kozok, bahasa Simalungun adalah bahasa tersendiri yang berdiri di antara bahasa-bahasa Batak (sebab tidak ada bahasa Batak yang tunggal secara ilmiah). Saya kutip selengkapnya : “Kelima suku Batak memiliki bahasa yang satu sama lain mempunyai banyak persamaan. Namun demikian, para ahli bahasa membedakan sedikitnya dua cabang bahasa-bahasa Batak yang perbedaannya begitu besar, sehingga tidak memungkinkan adanya komunikasi antara kedua
kelompok tersebut. Bahasa Angkola, Mandailing dan Toba membentuk rumpun selatan, sedangkan bahasa Karo dan Pakpak Dairi termasuk rumpun utara.
Bahasa Simalungun sering digolongkan sebagai kelompok ketiga yang berdiri di antara rumpun utara dan rumpun selatan (demikian juga pandangan Dr. P. Voorhoeve), namun menurut ahli bahasa Adelaar (1981) secara historis bahasa Simalungun merupakan cabang dari rumpun selatan yang berpisah dari cabang Batak Selatan sebelum bahasa Batak Toba dan Angkola-Mandailing terbentuk. Nah untuk lebih jelasnya Sdr Napitupulu agar membaca buku Dr. Uli Kozok tersebut di hal. 14.

4.
Pengaruh India/Sansekerta melalui Djawa-Hindu dan Pagaruyung pada suku bangsa Simalungun. Tideman, Tichelman dan Dr. P. Voorhoeve sebagai sarjana-sarjana Belanda mengakui bahwa suku Simalungun sangat dipengaruhi oleh India/Hinduisme. Pertama, sistem pemerintahan monarkinya Simalungun jelas merupakan adaptasi dari budaya India dengan “raj”nya yang menggolongkan masyarakat Simalungun dalam tiga kelas: partongah (high class), paruma (middle class) dan jabolon/hatoban (lowest class). Bandingkan dengan brahmana, vaisja dan sudra di India. Kedua, gual (kesenian asli) Simalungun yang sangat dekat dengan India, khususnya “inggou sarunei”.
Sebagai seorang seniman Simalungun, yang dapat memainkan gonrang dan sarunei Simalungun, saya merasakan kalau seni musik Simalungun asli ini punya punya nilai seni yang khas dan daya “magic” tinggi, dan saya lihat ada banyak persamaan iramanya dengan irama tradisional India dan juga Thailand (saya pernah bermain musik tradisional dengan rombongan mahasiswa dari Universitas Thaksin dari Chiang Mai). Ketiga, upacara penabalan dan pemakaman raja-raja Simalungun tempo doeloe (masih ada microfilimnya di Leiden), sangat dekat dengan upacara penabalan dan pemakaman di India dan jauh beda dengan Batak Toba. Upacaranya agung, khidmat dan penuh dengan nilai-nilai kesakralaan dan dengan protokoler yang rumit serta khas. Untuk ini ada baiknya memang saudara membaca karya Dr. Harry Parkin, Batak Fruit and Hindu Thought (Madras, 1978). Keempat, bahasa Simalungun, jelas dipengaruhi bahasa Sansekerta atau Pallawa (India Selatan), hanya pada etnis Simalungun ada akiran ei, ou, ah, dan huruf penutup g, d yang oleh Dr. P. Voorhoeve diterangkannya merupakan bahasa bona-bona dari satu bahasa purba (proto
language), di Karo dan Toba, huruf penutup ini hilang, karena semakin menjauh dari bahasa induknya. Yang uniknya, seperti diterangkan Dr. P. Voorhoeve, ada kata yang sama dalam bahasa Simalungun tetapi apabila huruf penutup dan akhirannya berbeda, maka artinya juga sudah berbeda. Contoh, “balog” artinya “perbatasan/boundaries”, “balok” artinya, “kayu gelondongan” , “dokdok” artinya, “cabut” seperti dalam sebaris kalimat Pustaha Tuan
Bandar Hanopan tentang cerita Kerajaan Silou, “dokdok ma urat ni padang
silah on, anggo idokdok ho taridah ma jambulan ni panakboru puteri Ijou”,
“dokdog” artinya “bulir padi yang kosong/Toba: lapung”, “pusog” artinya
“pusar manusia”, “pusok” artinya bisa “lang siat be/rapat” dan “berdukacita”
, “parah” artinya “orang yang sakit”, “para” artinya “tempat perkakas di dapur”, “rub” artinya “bunyi kayu tumbang”, “rup” artinya bersama-sama, “pak” artinya suara benda jatuh, “pag” artinya “berani”. Di Simalungun ada terdapat bahasa tinggi mirip dengan bahasa Jawa Ngoko dan Jawa Inggil pada etnis Jawa. Menurut ahli bahasa Voorhoeve, bahasa ini hanya terdapat pada suku Simalungun dan sedikit pada suku Karo. Ini disebabkan struktur masyarakat Simalungun yang berpola “monarki feodalistis”, zaman dahulu seluruh percakapan dengan raja punya pola tersendiri yang rumit jauh beda dengan bahasa “awam” Simalungun sekarang ini. Untuk berbicara dengan raja, sipembicara harus menyebut raja “tuhanta”, permaisuri (puangbolon) dengan “lai” atau “lani”. Saya kutip sepenggal kalimat dalam Pustaha Parpandanan Na Bolag, “Ou, amang umbei-umbei, pardja do lai ham?” Marsampang homai ma guru ondi, “Ou amang pardusun, ulang ihatahon ham au amang umbei-umbei, dong do lai goranku Guru Langgam Banua Holing, hunjai ni Si Lindung do anggo ahu, hun tanoh Batang Toru, jayu silopak ulu, dapot do hubahen mardaras mardorus bulungni torop salih menjadi begu.” Di Simalungun dan Karo untuk menyapa orang yang lebih tua dengan kata “ham/kam”, sedangkan untuk di bawah tingkatan/sederajat dengan kata “ho.” Tetapi dibanding Karo, Simalungun masih punya “kekhususan”. “Apabila ada orang tua melemparkan pertanyaan kepada kita (yang lebih rendah), pamali apabila dijawab dengan “alo” (Toba” “olo”), karena akan dianggap menghina, karenanya harus dijawab dengan “eak Atturang” atau “eak dahkam”, demikian juga apabila menyebut lebih dari satu orang harus “nasiam” kepada yang lebih tua dan “hanima” atau “handian” kepada yang lebih muda/sederajat. Singkatnya, bahasa prokem di Simalungun itu ada dan rumit, ini tidak ada di Toba. Mengenai keterkaitan Hinduisme dengan Simalungun saya kutip tulisan Arlin Diertrich (2003:18-19), “istilah “Jawa” ….mengacu ke Pulau Jawa atau ….berkaitan dengan kata “Jau” dan dengan demikian mengacu pada “orang asing”. Legenda sehubungan dengan berdirinya Kerajaan Tanoh Djawa ini mengisahkan seorang pangeran dari Djawa atau “Djawa Silepahipoen” (orang-orang Djawa bergigi putih”. Nama yang terakhir ini mendorong Tideman untuk meyakini bahwa para penguasa Tanoh Djawa ada kemungkinan berasal dari Tanah Minangkabau atau campuran antara Jawa-Minangkabau.” Selanjutnya dijelaskan Arlin lagi, “…peninggalan budaya di Simalungun seperti anisan (tiang kubur) dan bangunan suci tertutup yang zaman dahulu yang berfungsi sebagai kuil pemujaan (dahulu banyak terdapat di Dolog Sinumbah-Pardagangan, penelitian Martua Radja Siregar) membuktikan keberadaan unsur pengaruh Djawa Hindu. Unsur pengaruh Djawa-Hindu juga dijumpai dalam konsep pemerintahan raja dan istana yang jauh lebih berkembang di wilayah Simalungun dibandingkan dengan suku-suku Batak lainnya. Makanya tidak mengherankan apabila Arlin menulis, “…seorang rekan warga India yang kebetulan berkunjung ke Sumatera Utara melontarkan pendapatnya bagaimana ia merasa seperti berada di kampung halamannya sendiri, karena banyaknya, “hal-hal yang berbau India” yang ia jumpai di daerah ini. Sebagai penutup, saya kutip tulisan Edwin M. Loeb dalam bukunya, Sumatra: Its History and People (1990:20), “The Bataks were influenced to a considerable extent by Hindu civilization. Direct Hindu influence is said by the natives themselves to have come from the east (Timur/Simalungun). The more important Hindu traits imported into the Batak country were wet rice culture, the horse (”batak”=penunggang kuda), the plow, the peculiar style
of dwelling, chess, cotton and the spinning wheel, Hindu vocabulary, system
of writing (dari aksara Pallawa-India Selatan) and religious ideas. Tulisnya
lagi, “Of more practical importance was the influence exerted by the Hindus
among the Timur (Simalungun) and Karo Bataks toward state formation. The
Timur (Simalungun) district ruled by radjas and their families are the only
large territorial units” (hal. 38).

C. Kesimpulan :


Menilik perjalanan sejarah suku bangsa Simalungun, nenek moyang suku bangsa Simalungun asli yang menurunkan marga Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba (Sansekerta: “Naga”, “Ragih”, “Manik” dan “Purba”) jelas tidak benar berasal dari Toba Samosir melainkan dari keturunan sekelompok pengembara dari India Selatan (Nagore) yang mendirikan Kerajaan Nagur dinasti Damanik Nagur (500-1295) dan Siam (yang leluhurnya mendirikan Kerajaan Panei, Silou, Tanoh Djawa dan Siantar) yang masuk ke Simalungun via Aceh dan pantai Sumatera Timur. Pada abad ke-15 secara bertahap (bnd. teori sungsang) terjadi perpindahan antara masyarakat Simalungun ke Samosir (legenda sappar) dan menurunkan marga Sinaga, Manik, Purba dan Saragi (menurut sebutan orang Samosir) atau sebaliknya bermigrasi ke Simalungun dan memasuki marga raja-raja tersebut agar dapat memperoleh tanah di Simalungun. Jelasnya, di Simalungun ada dua keturunan nenek moyang, yaitu : Simalungun Tua (Proto Simalungun) dan Simalungun Muda (Deutro Simalungun).


Bahasa dan aksara Simalungun berawal dari bahasa tua (Sansekerta/Pallawa) di India Selatan yang bercampur dengan bahasa Melayu Tua. Sedangkan, aksara Simalungun (surat sapuluhsiah) berasal dari aksara Pallawa yang menurut penelitian Dr Uli Kozok bermula di Padang Lawas (Mandailing) dari sana ke Simalungun kemudian ke Toba dan Dairi dan berakhir di Karo.

Kebudayaan dan adat istiadat Simalungun asli banyak merupakan duplikasi adat dan budaya di India Selatan dan Siam yang pada abad ke XIII dan XIV akibat invasi Singosari dan Madjapahit budaya Jawa-Hindu turut menanamkan pangaruhnya. Pengaruh Melayu Islam dan Aceh masuk kemudian mulai abad XV dan XVIII dan budaya Eropa melalui zending RMG masuk pada permulaan abad XX.

Mengingat banyaknya unsur budaya dan keturunan yang masuk ke Simalungun, sehingga etnis Simalungun tercatat merupakan etnis yang terbuka dengan pendatang (sehingga etnis Simalungun hanya + 20 % saja dari penduduk Kabupaten Simalungun sekarang dan toleransinya tinggi, sepanjang kepentingan dan harkat martabatnya tidak diutak-atik. Sebab suku Simalungun hidup dalam Habonaron do Bona yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan.

D. Penutup
Demikianlah tanggapan saya atas bantahan Sdr Gunawan Napitupulu seorang etnis Batak Toba; yang menurut saya cukup “berani” menjelaskan eksistensi suku bangsa Simalungun. Koentjaraningrat begawan antropolog itu menulis, “yang dapat menjelaskan persis ekesistensi suatu suku bangsa adalah suku bangsa itu sendiri, bukan orang lain.”

Salam Habonaron do Bona. 

Horass.......
Horass.......
Horass.......

0 komentar:

Posting Komentar

    '

Bg Damanik